Rabu, 11 Desember 2013

VIMAGZ

Dapatkan Majalah VIMAGZ untuk panduan anda berkunjung ke tempat-tempat wisata yang ada di Indonesia, terbit Desember 2013

MAJALAH CARS PLUS

Dapatkan informasi terbaru seputar perkembangan otomotif di mancanegara dan didalam negri.
Semuanya diulas lengkap di MAJALAH CARS PLUS INDONESIA yang bisa anda dapatkan di Toko Buku terdekat dan agen terdekat di wilayah anda yang terbit Kamis 12 Desember 2013.
Mau berlangganan silakan contact : sdr.rusdi di Telp.021 792 3535 ext.144

Rabu, 06 Maret 2013

Tipu-tipu Investasi Emas Berkedok Syariah

http://www.gatra.com/fokus-berita/25595-tipu-tipu-investasi-emas-berkedok-syariah.html


Jakarta, GATRAnews - Dewan Syariah Nasional MUI merasa kecolongan memberi rekomendasi kepada GTIS sebagai perusahaan syariah. Belakangan diketahui, praktek GTIS menyimpang dari prinsip syariah. Michael Ong, bos GTIS, kabur diduga membawa uang nasabah. Nama Ketua DPR-RI, Marzuki Alie, ikut terseret. ---
Belasan polisi bersiaga di kantor PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), di kawasan Mega Kemayoran, Jakarta Pusat. Sejak awal pekan ini, pejagaan kantor itu diperketat, menyusul kabar menghilangnya pendiri GTIS, Taufiq Michael Ong alias Ong Han Cun. Ratusan nasabah panik mendatangi kantor perusahaan tersebut.

Pria berpaspor Malaysia itu kabur diduga membawa uang nasabah yang diperkirakan mencapai Rp 10 trilyun. Celakanya, laku lancung Ong tak hanya bikin pusing para nasabah. Beberapa elite politik nasional ikut kena getah kelicikan Ong. Mereka adalah Ketua DPR-RI, Marzuki Alie, dan politikus Partai Demokrat, KH Aziddin. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut kena getahnya.

Ketika mendirikan GTIS, Ong sengaja menggandeng Marzuki dan Aziddin serta MUI untuk memperlancar bisnisnya. Bahkan nama Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, dan Marzuki Alie dipampang di laman situs perusahaan dan brosur-brosur yang dibagikan kepada calon nasabah, lengkap dengan foto dan tanda tangan mereka.

GTIS juga mencantumkan MUI dan Marzuki Alie sebagai pemegang 10% saham. Sementara itu, saham mayorits tetap dipegang Ong sebesar 45% dan seorang warga negara Malaysia lainnya bernama Dato Zahari Sulaiman sebesar 25%. Sebelum masuk Indonesia, Ong mengklaim telah memiliki jaringan bisnis investasi emas di sejumlah negara dengan perusahaan bernama GTI Internasional.

Lewat GTI Internasional, Ong mengklaim memiliki spesialisasi bisnis jual-beli emas 24 karat dan koin emas. Dalam bisnisnya, Ong menawarkan harga diskon besar kepada para nasabah. Setelah itu, perusahaan akan membeli lagi emas tersebut dengan harga tertinggi. GTIS menawarkan keuntungan 5%-10% sebulan. Angka ini jelas menggiurkan karena dalam setahun keuntungannya bisa mencapai 50%-100%. Ratusan nasabah tergiur rayuan GTIS.

Adapun kisah terseretnya Marzuki, KH Aziddin, dan MUI dalam bisnis investasi emas --yang katanya berbasis syariah-- ini cukup berliku. Bermula dari pertemuan antara Ong Han Cun dan Aziddin, tiga tahun lalu, Agustus 2011. Aziddin mengaku dikenalkan kepada Ong oleh sahabatnya, seorang ustad bernama Bambang. "Bambang-lah yang membawa Ong ke saya untuk bisa berteman lebih dalam," kata Aziddin.

Ong rupanya sengaja merapat ke Aziddin demi memperoleh sertifikat syariah, yang secara resmi dikeluarkan Dewan Syariah Nasional (DSN), untuk bisnisnya. Sebagaimana diketahui, DSN adalah lembaga bentukan MUI yang memiliki fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.

Setelah berkenalan dengan Aziddin, Ong mengundang Aziddin ke kantornya di Jalan Pluit Permai Raya Nomor 23, Jakarta Utara. Ong berkonsultasi soal bagaimana mendirikan perusahaan perdagangan emas yang berbasis syariah di Indonesia. Awalnya, Aziddin sempat meragukan reputasi Ong. Tapi, setelah dicek, ia mengaku bahwa Ong memiliki reputasi baik.

Kemudian Aziddin yang juga anggota DSN MUI ini menghubungi pimpinan MUI. Pihak MUI pun menyambutnya dengan menggelar sidang DSN. Dalam sidang itu muncul persoalan krusial, yakni bahwa seorang direktur perusahaan yang berbasis syariah haruslah beragama Islam. Sedangkan Ong non-muslim. Aziddin menyarankan agar Ong masuk Islam. Ong setuju. "Apalagi, dia punya niat pribadi mau mencari istri muslimah pribumi Indonesia," ujar Aziddin.

Ong juga mengumbar janji manis: keuntungan perusahaan akan disumbangkan ke sekolah-sekolah Islam di Indonesia, anak yatim piatu, kaum duafa, dan masjid-masjid. Supaya lebih meyakinkan, Ong meminta diislamkan oleh Marzuki Alie. Dari sinilah perkenalan antara Ong dan Marzuki bermula.

Aziddin, yang juga deklarator Partai Demokrat, kemudian membawa Ong menemui Marzuki Alie. "Dia dibawa KH Aziddin bersama Dato Anshari tahun lalu. Mereka datang kepada saya, minta tolong bagaimana perdagangan emas di Indonesia dibuat seperti Malaysia. Saya katakan, Indonesia menganut pasar bebas, tidak boleh kartel," kata Marzuki.

Kemudian Ong bersama Aziddin datang lagi menemui Marzuki, mengaku ingin masuk Islam. "Maka, saya bawa ke Masjid DPR untuk disyahadatkan oleh imam masjid. Selebihnya saya tidak mengerti. Jadi, saya dengan Michael Ong bukan pribadi, melainkan dibawa oleh KH Aziddin," Marzuki Alie menegaskan.

Ong dibaiat masuk Islam pada Oktober 2011. Marzuki Alie dan Aziddin bertindak selaku saksi, sedangkan pembaiatan dipimpin KH Ma'ruf Amin. Setelah Ong masuk Islam, bisnisnya pun lancar. Sertifikat rekomendasi syariah dari DSN MUI diterbitkan pada 15 Agustus 2012. PT GTI Internasional juga berubah menjadi PT GTI Syariah.

Ichwan Sam, Sekretaris Jenderal MUI sekaligus penasihat GTIS, mengatakan bahwa saat itu pengajuan sertifikat syariah PT GTIS memang sudah memenuhi syarat dan ketentuan syariah atau akad-akad yang akan dijalankan. Apalagi ada kabar, Ong mau masuk Islam dan mau membantu MUI agar memiliki dana untuk mengurus umat. "Segenap pengurus MUI pun menyambut positif kelahiran GTIS. Saya kira, itu juga hal yang wajar," kata Ichwan kepada Hayati Nupus dari GATRA.

Karena itu, Aziddin, Marzuki, dan MUI mendapat bagian saham masing-masing 10% dan didudukkan sebagai penasihat perusahaan. Belakangan, Marzuki Alie membantah kabar ini. "Saya tidak duduk sebagai apa pun. Saya juga tidak menerima bayaran apa pun. Mana ada lembaga penasihat atau pembina dalam institusi bisnis?" ujarnya.

Ketika kedok Ong mulai terkuak, ia menghilang dengan membawa duit nasabah. Aziddin mengaku baru mengetahui iktikad buruk Ong setelah lari. Marzuki Alie pun kesal karena namanya dijual Ong lewat brosur dan situs GTIS. "Saya sudah beberapa kali memanggil untuk menegur yang bersangkutan (Michael Ong), tetapi tidak pernah datang. Saya juga komplain ke KH Aziddin," katanya.

Kini Aziddin kerepotan mengendalikan situasi. Sepekan belakangan ini, dia sibuk meyakinkan para nasabah, agen, dan customer yang datang ke kantor pusat GTIS bahwa uang mereka masih aman. Rencananya, operasional GTIS akan diambil alih MUI. Dari hasil RUPS, Senin kemarin, kata Aziddin, para pemegang saham, termasuk MUI, sepakat menonaktifkan Michael Ong.

RUPS itu juga menghasilkan susunan personalia baru, termasuk jajaran direksi baru. Mereka inilah yang nanti bertugas menyelesaikan masalah, misalnya bonus untuk ribuan nasabah yang berbulan-bulan tidak cair. "Setelah itu, jajaran direksi atau pengurus akan melaporkan Ong ke Mabes Polri," kata Aziddin.

Untuk sementara, beberapa nasabah mengaku agak tenang setelah medengar penjelasan Aziddin. "Saya minta Ong segera ditangkap dan diproses hukum di Indonesia. Kami nasabah ini sangat kesal kepadanya," kata Yuli, nasabah asal Surabaya yang berinvestasi ratusan juta rupiah. Ia berharap, GTIS dapati beroperasi normal lagi dan uang bisa kembali.

Agar kasus GTIS yang berkedok sayariah ini tak terulang, Wakil Ketua DSN, Adiwarman Karim, mewanti-wanti agar masyarakat tak mudah terbujuk oleh iming-iming, walaupun berlabel syariah. "Kalau ada yang menawarkan sesuatu yang tidak masuk akal, tolak!" ujar Adiwarman Karim.

"Meskipun pakai nama syariah, bismillah, rekomendasi DSN, Al-Fatihah tujuh kali, pajang foto tokoh, masa bodoh. Tolak!" Adiwarman Karim menegaskan. Ia mengakui bahwa kasus GTIS menjadi pelajaran bagi DSN agar tak gampang mengeluarkan rekomendasi syariah.

Adiwarman mengakui, DSN kecolongan dalam kasus GTIS ini. "Rekomendasi yang kami keluarkan itu, ya, kami lose (kecolongan --Red.). Ya, kami belajar. Ke depan, kami tunggu izin keluar dulu," tuturnya.

Sebenarnya, sebelum mengeluarkan rekomendasai, DSN menanyakan izin GTIS, apakah perusahaan ini penjual emas atau investasi. "Mereka bingung menentukan. Katanya, jual emas juga, tapi investasi juga," kata Adiwarman. Tapi pihak GTIS berkilah, rekomendasi DSN justru diperlukan untuk mengurus izin. "Akhirnya kami terbitkan rekomendasi," kata Adiwarman.

Ternyata GTIS mengumbar janji palsu. Ketika itu, Ong berjanji mengurus izin sebagai perusahaan penjual emas. DSN setuju mengeluarkan rekomendasi karena izin penjual emas lebih mudah diawasi dan persyaratannya tidak banyak. GTIS memang benar-benar mengurus izin sebagai penjual emas dan melampirkan surat izin dari BKPM itu ke DSN.

Tapi, prakteknya, GTIS menjalankan bisnis investasi. "Ternyata yang mereka tawarkan adalah produk investasi syariah," ujar Adiwarman. DSN pun berulang kali menegur GTIS, tapi tak digubris. Mereka menjual dua produk. Pertama, harga emas Rp 500.000 per gram mereka bayar Rp 600.000 per gram atau 20% di atas harga pasar.

Kelebihan itu dibayar dalam bentuk diskon dalam tiga bulan, masing-masing 2,5%. Kemudian pada akhir periode ada buyback guarantee, sehingga investasi nasabah Rp 600.000 itu kembali. "Ini namanya bukan penjual emas. Mestinya rekomendasinya adalah investasi. Dalam investasi syariah, syaratnya lain lagi. Salah satunya adalah pemisahan rekening nasabah dengan perusahaan," tutur Adiwarman.

Praktek ini, menurut dia, menyimpang dari prinsip syariah. "Syariah itu tidak boleh menipu, tidak merugikan orang, tidak riba, tidak gharar (mengandung ketidakpastian --Red.)," kata Adiwarman.

Menurut dia, yang terjadi pada GTIS adalah fraud, apa yang dilakukan tidak sama dengan apa yang direkomendasikan. "Publik mungkin salah menilai. Kami bukan memberi izin. Kami bukan pemerintah. Kami hanya memberi rekomendasi," ujar Adiwarman sembari berjanji mencabut rekomendasi syariah yang diberikan kepada GTIS.

Menurut Direktur Wakala Induk Nusantara, Zaim Saidi, pemahaman bahwa emas adalah investasi merupakan hal yang salah. Masyarakat selalu menganggap nilai emas naik-turun. Sehingga, apabila harga emas turun, masyarakat berbondong-bondong membelinya. "Padahal, harga emas tak pernah berubah. Yang berubah sebenarnya nilai uang," katanya.

Namun, karena pemahaman itu tidak diketahui masyarakat, ada sebagian orang yang kemudian memperalat masyarakat. Emas dipakai strategi marketing untuk mengelabui orang. Masyarakat diminta membeli seharga 10%-15% lebih mahal daripada harga emas dalam rupiah, sehingga dalam setahun terkumpul 120%. "Ini berarti orang mendapat uangnya sendiri," ujarnya.

Dalam kasus GTIS, Zaim menduga, perusahaan itu bermain di pasar saham. "Iya kalau untung, kalau jebol, gimana? Kayaknya ini jebol," tutur Zaim. Ia menyayangkan MUI yang memberi rekomendasi syariah kepada GTIS. "Harusnya MUI tahu, mosok jual-beli tapi harga di-mark-up. MUI tahu ini menyimpang, tapi malah membiarkan," Zaim menegaskan. (M. Agung Riyadi, Deni Muliya Barus, Sandika Prihatnala, Fitri Kumalasari, Flora Libra Yanti, dan Rach Alida Bahaweres)

------------

Waspada Rayuan Investasi Bodong

Teliti sebelum berinvestasi. Masyarakat seharusnya hati-hati terhadap model bisnis seperti PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Peringatan itu disampaikan anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti S. Soetiono, mengingat belakangan ini muncul berbagai kasus penipuan berkedok investasi.

Di Surabaya, misalnya, ratusan nasabah Raihan Jewellery harus gigit jari lantaran investasi mereka yang mencapai Rp 13,2 trilyun terancam hilang. Kasus-kasus itu, termasuk kasus PT GTIS, sedang ditangani Satgas Waspada Investasi OJK. "Akan dibuktikan ada-tidaknya unsur penipuan oleh penegak hukum," kata Kusumaningtuti sembari menyebutkan beberapa ciri usaha investasi ilegal alias bodong yang harus diwaspadai masyarakat.

Ciri pertama, investasi bodong biasanya menawarkan keuntungan yang tidak masuk akal dalam waktu singkat. Kedua, menyediakan atau menawarkan jasa yang mudah diakses secara langsung atau melalui media internet. Ketiga, memanfaatkan figur publik yang disenangi masyarakat, seperti pemuka agama, artis, dan politisi. Keempat, partisipan mendapat keuntungan dengan cara merekrut partisipan baru. Terakhir, melaksanakan kegiatan itu seolah-olah dalam bentuk multi-level marketing yang legal.

Kusumaningtuti menegaskan, bisnis investasi yang sehat tidak menjanjikan imbal hasil investasi di awal. Terlebih bila apa yang dijanjikan itu dalam jumlah sangat besar. "Seharusnya imbal hasil tersebut didasarkan pada perkembangan kondisi usaha atau pasar," ujarnya.

Investasi juga harus dilakukan secara aman, legal, dan sesuai dengan kebutuhan (smart investing). Kusumaningtuti menyarankan, masyarakat ekstra waspada terhadap tawaran investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi, di atas 2% per tahun. Perlu diketahui, tingkat suku bunga penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan hanya 5,5% per tahun. Sedangkan rata-rata return reksa dana saham di Indonesia hanya sekitar 10,06% per tahun. (M. Agung Riyadi dan Birny Birdieni)